MASIH ADAKAH PERMAINAN TRADISIONAL DI JAMAN SEKARANG?

           Permainan tradisional, dua kata tersebut mungkin sudah jarang kita temui saat ini, bahkan tidak sama sekali khususnya di kota-kota besar. Dahulu permainan tradisional sering kita lihat, baik di seitar rumah, halaman sekolah, maupun tempat-tempat lain bahkan di tempat ibadah sekalipun. Namun,  saat ini entah karena kemajuan teknologi yang membuat permainan tradisional mulai luntur atau karena faktor lain yang membuat anak-anak Indonesia enggan memainkannya kembali. Padahal semua permainan tradisional merupakan warisan dari nenek moyang kita terdahulu. Anak-anak Indonesia jaman sekarang telah mengadopsi “produk” budaya barat dimana dilengkapi dengan teknologi canggih yang efisien dan dapat dinikmati kapan saja dan dimana saja. Dari sini terlihat seolah-olah kalau mereka tidak menggunakannya, dianggap ketinggalan jaman atau bahasa saat ini “kurang gaul” serta belum bisa mengekspresikan bakatnya. Nah, apakah permainan tradisional dianggap sesuatu yang belum bisa mengekspresikan bakatnya atau kurang menarik untuk dimainkan?

            Pertanyaan tersebut perlu ditanggapi secara serius. Mungkin pernahkah kita sadar ketika masa anak-anak dulu apa yang sering kita lakukan dengan teman sepermainan kita. Pastinya jawabannya bermain karena waktu bermain kita ketika itu lebih banyak. Permainan yang sering kita lakukan tentunya permainan tradisional, seperti petak umpet, bentengan, congklak, patil lele, gobak sodor, layang-layang, lompat tali, dan masih banyak lagi yang terdapat di semua daerah di Indonesia. Namun, di era globalisasi saat ini sepertinya jarang sekali kita amati di lingkungan sekitar kita. Anak-anak sekarang lebih suka berdiam diri dirumah lalu memegang “gadget” dengan teknologi canggih dan memainkannya sendiri atau dengan saudaranya maupun teman akrabnya. Padahal, mereka secara tidak sadar terlalu sering bermain permainan modern tersebut, dapat menimbulkan efek negatif, baik secara psikis maupun sisi medis.

            Permainan tradisional di berbagai daerah di Indonesia seringkali dimainkan secara berkelompok (grup) supaya anak-anak saling mampu berinteraksi satu sama lain sebagai bentuk komunikasi dalam kerjasama yang kuat. Mereka selalu memainkannya dalam kondisi senang, gembira, atau ceria selalu, supaya mereka terlihat kompak dan tidak dalam kondisi tertekan sekalipun. Permainan tradisional di Indonesia diciptakan berdasarkan konteks budaya setempat, oleh sebab itu, secara otomatis mereka juga belajar kebudayaan dari daerahnya. Dari setiap gerakan yang ditimbulkan dari permainan tradisional tersimpan nilai-nilai filosofi yang membuat mereka belum. Padahal, itu sangat bermanfaat untuk kehidupannya kelak.

            Sebagai contoh permainan congklak, dikenal dengan nama yang berbeda-beda di setiap daerah. Di Sumatra, permainan ini kebanyakan dikenal sebagai congkak. Di Jawa, permainan ini dikenal sebagai congklak, dakon, dhakon atau dhakonan. Di Lampung, permainan ini disebut dentuman lamban. Di Sulawesi, permainan ini disebut sebagai Mokaotan, Maggaleceng, Aggalacang dan Nogarata. Permainan ini terlahir sejak jaman dahulu ketika diperkenalkan oleh para pedagang dari tanah Arab yang berkunjung ke Indonesia. Pada awalnya congklak dimainkan oleh perempuan-perempuan muda kaum bangsawan dari Jawa. Dengan perkembangan waktu, permainan ini telah dimainkan oleh semua kalangan, baik itu dari kelas atas maupun bawah, bahkan tatkala juga dimainkan oleh anak laki-laki. Permainan ini menggunakan papan kayu dengan jumlah lubang di masing-masing pihak dan sekumpulan biji. Filosofi dibalik permainan congklak adalah bagaimana kita belajar mengatur kebutuhan hidup, belajar menabung, serta berbuat bijak dan arif.

            Permainan tradisional tidak hanya memiliki nilai filosofi, tetapi juga dapat memanfaatkan sumber daya alam di lingkungan sekitar kita, salah satunya permainan enggrang. Permainan yang mulai berkembang dari Jawa Barat ini menggunakan bamboo dan kayu yang diberi pijakan (kaki) agar bisa leluasa dalam menggerakkannya ketika berjalan. Selain sebagai penghematan dalam penggunaan bahan, bisa juga mengajarkan kepada kita semua pentingnya sumber daya alam bagi kelangsungan kebutuhan hidup manusia.

            Seringkali generasi anak jaman sekarang meremehkan permainan tradisional. Padahal dibalik permainan tradisional ini banyak sekali pendidikan karakter yang bisa diajarkan bagi diri mereka sendiri maupun orang lain, salah satu contohnya adalah gobak sodor. Dalam permainan ini kita diajarkan pentingnya kerjasama dalam sebuah kelompok serta melatih kejujuran. Selain itu, permainan ini juga memiliki simbol berpikir secara logis, kreatif, dan inovatif.

            Sepertinya, suasana permainan tersebut mulai hilang secara perlahan-lahan dan tergusur oleh permainan macam Playstation, Nitendo, Game Online, atau segala permainan modern lainnya. Permainan macam ini tidak hanya dinikmati oleh anak-anak semata, tetapi juga orang dewasa. Kadangkala, diantara permainan modern tersebut dijadikan objek “perjudian” untuk meraih keuntungan semata. Padahal, hal itu dapat merusak mentalitas karakter seorang anak. Dampak yang ditimbulkan pun bisa-bisa menjadi suatu “kecanduan” yang sulit dihilangkan. Namun saat ini seakan-akan baik masyarakat maupun pemerintah tampaknya enggan mengurusi hal tersebut. Meskipun hal ini dirasa tidak begitu penting, tapi dapat mempengaruhi harga diri sebagai bangsa Indonesia yang selalu mengikuti trend ala budaya barat. Adapun beberapa kajian penelitian yang menjadikan salah satu permainan tradisional sebagai objek dimana hasilnya memiliki kesamaan, yaitu Tuhan, alam, dan hubungan antar manusia. Bukan berarti permainan modern itu tak selamanya membawa efek buruk bagi anak-anak. Salah satu contohnya ada beberapa siswa di salah satu sekolah di di Indonesia yang dapat menciptakan robot dan juga menjuarai kompetisi permainan modern lainnya, baik tingkat nasional maupun internasional. Tentu saja membawa kebanggaan bagi negara kita.

            Adapun sebab-sebab yang membuat anak-anak jaman sekarang jarang sekali memainkan permainan tradisional, diantaranya kurangnya peran orang tua ketika mengenalkan permainan tradisional. Mereka sering membelikan mainan modern yang membuat anak tersebut betah untuk memainkannya. Lalu, lahan bermain semakin sempit dimana anak-anak sulit bermain laying-layang ataupun permainan tradisional lainnya. Dan yang terakhir kurangnya perhatian dari pemerintah setempat ketika memperkenalkan permainan tradisional ke anak-anak di daerahnya masing-masing. Mereka hanya sibuk memikirkan keuntungan dari pihak-pihak yang menciptakan alat mainan modern.

            Permainan tradisional memiliki segudang banyak manfaat yang seringkali belum kita ketahui sepenuhnya bahkan terabaikan. Permainan tradisional mengajarkan banyak hal kepada anak-anak yang dapat diingat sepanjang masa. Permainan tradisional juga mengajarkan pentingnya makna Unity in Diversity yang dapat ditanamkan kepada mereka sejak dini. Kalau sudah begini, bagaimana kondisi permainan tradisional saat ini, masih adakah? Akankah permainan tradisional ini punah dengan sendirinya? Jawabannya tentu dari kita sendiri seberapa besarkah kesadaran kita untuk melestarikan permainan tradisional untuk di masa yang akan datang dan berjalan selaras dengan permainan modern.

Ditulis oleh: Anang Viki Pratama Hadju (mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya-Sastra Inggris & anggota yayasan swayanaka Indonesia cabang Surabaya).

Leave a comment